BERBISNIS DENGAN ETIKA
ETIKA BISNIS DIPASAR TRADISIONAL
oleh MUSTAFA KAMAL ROKAN
Suatu hari saya berkeinginan membeli sepatu di pasar “emperan sepatu” yang berada di pinggir jalan raya. Saat ini, untuk membeli sepatu mudah sekali, sebab penjual sepatu yang terletak jalan utama di Medan “berjejeran” sepatu dengan segala merek dan jenisnya.
Dengan memilah dan memilih sepatu yang beragam itu, akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada merek tertentu. Seperti pembeli lainnya, kalimat pertama yang terlontar dari mulut saya adalah “kalau yang ini berapa? Seketika saja penjual menyebutkan harga sepatu yang saya pilih itu,“ yang ini harganya Rp. 125.000 rupiah”, namun diiringi kalimat “tapi bisa kurang kok pak”.
Tak ayal lagi, sayapun berfikir keras untuk menebak dan menawar dengan harga yang pas sekaligus wajar. Harga yang pas dan wajar adalah harga yang jangan “kena tipu sekali” sehingga rugi, dan juga “tidak kerendahan sekali” sehingga menjadi malu.
Saya pun bingung, sebab tak terbiasa berbelanja di tempat itu. Akhirnya, saya mengajak penjual sepatu itu untuk menyebutkan berapa harga pokok sepatu itu, dan berapa ia mengambil untung. Dengan serta merta, si penjual mengatakan “wah mana bisa, sekarang sulit orang percaya dengan sistem seperti itu”.
Penulis coba meyakinkan si penjual, “bilang saja berapa harga sebenarnya dan mengambil untung berapa, pasti saya bayar, yang penting jujur”. Karena si penjual berpakaian jilbab, saya sampaikan “begitulah Rasulullah berdagang dahulu.” Akhirnya, dengan setengah berbisik (karena takut terdengar pemilik toko dan pembeli lainnya) si penjual pun menyebutkan angka tertentu dan saya pun membayar sepatu itu.
Kondisi “tawar menawar” seperti ini adalah hal yang hampir umum terjadi di pasar terutama pada pasar tradisional. Kondisi seperti ini jelas tak mengenakkan, baik bagi si penjual dan juga si pembeli. Mengapa? Bagi si penjual, ia akan berusaha mengelabui si pembeli dan tak jarang harus membumbui kata pemanis yang penuh kebohongan dalam rangka meyakinkan si pembeli.
Sering kali harga satu jenis barang dinaikkan dengan berkali lipat, sehingga sulit menebak berapa harga aslinya. Sedangkan bagi si pembeli selalu merasa tidak nyaman, jika ia tidak mengetahui harga pasar sebuah barang maka ia akan menawar dan membeli barang dengan sangat mahal, tak jarang hingga tiga atau empat kali lipat dari harga pokok. Intinya harus pandai-pandai menawar yang diselingi dengan saling curiga.
Fenomena ini juga menimbulkan berbagai intrik baik dari si penjual maupun pembeli. Bagi si penjual, bahasa yang digunakan selalu meyakinkan yang kadang dibumbui
dengan kebohongan, misalnya “harga pokokpun belum kembali”, “wah, itu jauh dari harga” dan seterusnya, yang kesemuanya dalam rangka meyakinkan si pembeli. Sedangkan bagi si pembeli, bahasa yang muncul terkadang merayu atau juga memaksa “ngemop” dan tak jarang dengan “pura-pura pergi”, jika si penjual memanggilnya lagi maka berarti harga masih bisa ditawar, jika tidak, berarti memang benar harga barang tersebut demikian, sehingga tidak dapat ditawar lagi.
sumber :http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=71337:etika-bisnis-di-pasar-tradisional&catid=33:artikel-jumat&Itemid=98